BENGKULU. – Plt Kepala Dinas (Kadis) Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3A-P2KB ) Provinsi Bengkulu Ibu Willy Purnama SH.MH. membuat Kasus ini menjadi kontroversial menyeruak di Provinsi Bengkulu. Dimana Kadis tersebut diduga mengambil alih uang perdamaian sebesar Rp 50 juta dari korban yang bukan tupoksinya, padahal sudah ada surat perjanjian perdamaian yang disepakati antara korban dan pelaku disaksikan keluarga kedua belah pihak.
Sebelumnya, korban dan terduga pelaku telah sepakat menandatangani surat perjanjian perdamaian yang berisi perdamaian secara kekeluargaan penyelesaian secara damai, dengan nilai uang damai diminta korban sejumlah Rp 50 juta sebagai kompensasi atau penyerahan dari niat baik tidak berkepanjangan.
Namun tiga hari kemudian setelah terjadi perdamaian setelah diterima keluarga korban uang tersebut, Kepala Dinas P3A‑P2KB Provinsi Bengkulu Ibu Willy datang bersama rombongan “mengambil alih” uang itu dari tangan korban, dengan alasan perdamaian tidak sah maka uang tersebut dititipkan atau untuk keperluan pengamanan.
“Korban mengaku keberatan karena merasa haknya telah diabaikan perjanjian damai, yang telah disepakati bersama dan bahkan dinas pemerintah bertindak di luar perannya”.
Iksan salah satu Apokad di Bengkulu ikut komentar tentang Tugas dan Fungsi P3A-P2KB melaksanakan perencanaan, penyiapan dan evaluasi program kerja peningkatan pemberdayaan perempuan dan peningkatan perlindungan anak serta pemberdayaan keluarga itu tugas Dinas. Bukan mencampuri perdamaian sah apa tidak itu urusan penegak hukum tegasnya.
Menanggapi tudingan berita yang beredar tersebut, Ibu Willy selaku PLT Dinas P3A-P2KB Provinsi Bengkulu mengadakan jumpa pers pada hari Jum’at tanggal 04/10-2025 jam 15.00 di ruang pertemuan kantor P3A-P2KB Provinsi Bengkulu menyampaikan beberapa poin pembelaan diri.
“Mengatakan Dinas mengklaim bahwa uang itu diterima secara legal dan transparan sebagai titipan dari korban, bukan secara sewenang‑wenang, proses penerimaan uang disebut disaksikan pihak keluarga korban dan disertai berita acara resmi”. katanya.
“Dinas juga menyatakan bahwa pihaknya telah berkonsultasi dengan mitra pendamping serta penyidik agar uang sebesar Rp 50 juta tersebut sebagai titipan dan itu diperbolehkan secara prosedural”. Katanya.
Pihak dinas membantah terlilit dalam proses perdamaian, menyatakan bahwa mereka tidak menginisiasi perjanjian antara korban dan pelaku.
Kuasa hukum terduga pelaku Ibu Endah mengatakan pihak P3A-P2KB Provinsi Atensinya terlalu berlebihan, kita tunggu saja nanti di pengadilan apa maksudnya meminta uang perdamaian dan apa tujuan provinsi mencampuri urusan P3A-P2KB kota kita tunggu saja tegasnya.
Menurut Iksan menimbulkan Implentasi Hukum & Kontroversi dalam persoalan hukum dan etika muncul dari peristiwa atau persoalan ini:
Perjanjian yang telah disepakati diabaikan.
Korban berhak mempertanyakan, apakah Dinas berwenang menggantikan posisi salah satu pihak (korban) dalam perjanjian perdata secara sepihak?
Yang menjadi pertanyaan kenapa persoalan ini diambil alih Provinsi, seharusnya Dinas P3A-P2KB kota Bengkulu yang bermasalah stafnya dinas kota. Dapat dikatakan tindakan Arogansi dipertanyakan dasar hukum pengambilalihan titipan uang oleh dinas Apakah ada regulasi daerah atau pusat yang memberikan kewenangan kepada dinas ini untuk mengambil atau menerima, menyimpan, atau mengelola uang titipan dari rakyat dalam konteks perkara perdamaian?
Potensi pelanggaran kewenangan dan prinsip pemerintahan yang baik. Bila tindakan dinas berada di luar batas kewenangan (ultra vires), maka tindakan tersebut berpotensi digugat sebagai tindakan maladministrasi.
Dampak bagi Korban, Korban bisa merasa dirugikan secara materiil dan psikologis uang telah berpindah tangan tanpa persetujuan kedua belah pihak penuh.
Rasa keadilan terpatahkan ketika institusi publik memposisikan diri di luar fungsinya untuk mengatur, atau mengamankan aset warga yang dalam sengketa perdata.
Dalam kontek ini pihak terduga pelaku merasa dirugikan, meminta kepada bapak Gubernur selaku pimpinan tertinggi di daerah agar mengarahkan bawahannya tidak menyimpang tugas dan mencampuri urusan orang, juga kepada Pihak berwenang Ombudsman, Inspektorat, atau Pengadilan melakukan audit atau melakukan penyelidikan terkait masalah ini harapnya (tim/jlg).